Nadzar I’tikaf Dan I’tikafnya Wanita Yang Istihadhah
Umar bin Khattab pada zaman jahiliyah bernadzar di Masjidil Haram untuk I’tikaf, setelah itu dia bertanya kepada Rasulullah tentang nadzarnya itu, maka beliau memerintahkan untuk, melaksanakan nadzarnya tersebut. Hal itu dijelaskan:
1. SB: I: 2: 256
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ قَالَ: كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ متفق عليه وزاد البخارى:فَاعْتَكِفَ لَيْلَةً.
Dari Ibnu Uamr, sesungguhnya Umar bertanya kepada Nabi (Umar) berkata: Aku pernah bernadzar pada zaman jahiliyah bahwa aku akan I’tikaf pada malam hari di Masjidil Haram, maka beliau berkata: Penuhilah nadzarmu itu. HR. Mutafaq Alaih. Dan Imam Bukhory menambahi: Maka Umarpun I’tikaf pada malam hari.
Keterangan:
I’tikaf itu hukumnya Sunnah, tetapi karena dijadikan nadzar, maka menjadi wajib, seperti yang terjadi pada Umar bin Khottob. Jadi apa saja yang dinadzarkan maka akan menjadi wajib hukumnya. Dan untuk membatalkan nadzar itu harus:
1. Memberi makan sepuluh orang miskin atau
2. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau
3. Memerdekakan seorang budak atau
4. Shaum selama tiga hari berturut-turut atau tidak. Lihat Qs: 5: 89.
2. SB: I: 2: 258
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهَا قَالَتْ: اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحَاضَةٌ فَكَانَتْ تَرَى الْحُمْرَةَ وَالصُّفْرَةَ وَالطَّسْتَ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّى.
Dari Aisyah ra telah berkata: Seorang dari isteri beliau beri’tikaf bersama Rasulullah dia sedang istihadhah, maka ia lihat darahnya kemerahan dan kekuning-kuningan dan bejana dibawahnya dan ia tetap sholat.
1. SAD: I: 570: 2476
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِامْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ فَكَانَتْ تَرَى الصُّفْرَةَ وَالْحُمْرَةَ فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّى.
Dari Aisyah telah berkata: telah I’tikaf bersama Rasulullah seorang dari isterinya, maka ia lihat kuning dan kemerahan, sekiranya kami letakkan bejana dibawahnya dan ia tetap sholat.
Keterangan:
1. Dua hadits diatas menunjukkan tentang dibolehkannya seorang perempuan yang sedang istihadhoh beri’tikaf.
2. Yang dimaksud isteri Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam disini adalah Ummu Habibah binti Jahsy, dia beri’tikaf bersama Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam dalam keadaan istihadhah (terkena darah penyakit).
Tinggalkan Komentar